Positivisme secara etimologi berasal
dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa
yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini
berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya
ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan
konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat
disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu
paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.
Tokoh aliran ini adalah August Comte
(1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri
sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain,
ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah
yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting
positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih
adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang
lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran – ukuran
tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno . Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena. Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi (fictionalist). Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno . Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte. Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu teologi, metafisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir (ultimate cause) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk menjelaskan fenomena akan ditinggalkan dan ilmuwan hanya akan mencari korelasi antar fenomena. Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi (fictionalist). Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi.
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua
jenis penelitian yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian
kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian
kualitatif. Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian
kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin
& Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini
merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif
dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan
perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut:
a) Penelitian
Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan
kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh
Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut
fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta
sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu
fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi
tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain Suparlan
menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan perhatiannya pada
gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia,
yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa
dengan menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian
kuantitatif adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam
kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula
kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan
pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif berguna untuk
menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan
ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang
telah dikumpulkan (Suparlan, 1994:6-7).
b) Penelitian
Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian
kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok
penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang
terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya
gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,
maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip
umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi
dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif
sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip
yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan
manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak
harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya.
Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka
maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga pendekatan
kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah
jelas perbedaan yang fundamental antara penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih rinci perbedaan
penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan
Cresswell (1994), Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan
Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.
- Quantitative Style (Model Kuantitatif)
- a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)
- b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)
- c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)
- d. Value free (bersifat bebas nilai)
- e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)
- f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang banyak)
- g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)
- h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)
- Qualitative Style (Model Kualitatif)
- a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi realitas sosial, makna budaya)
- b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada proses interpretasi dan peristiwa-peristiwa)
- c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)
- d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)
- e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat pada konteks)
- f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau subjek)
- g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)
- h. Researcher is involved (peneliti terlibat)
Penjelasan
dan contoh Model Kuantitatif
- a. Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang
dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu
masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel tersebut harus diukur.
Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi
kerja karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang
disusun berdasarkan komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari
variabel penelitian yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.
- b. Terfokus pada variabel-variabel
Sebelum dilakukan penelitian,
terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-hal pokok yang terdapat
dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-variabel tersebut
berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang terjadi merupakan akibat dari
gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di sini
terjadi cara berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu perusahaan terjadi
gejala penurunan produktivitas kerja karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian
secara teoritis faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya penurunan
produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara teori ditemukan bahwa
produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil
pengukuran masing-masing variabel diuji secara statistik apakah benar variabel
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai
hubungan dengan variabel produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh atau hubungan
tersebut signifikan atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat kepercayaan yang
tinggi). Apabila hasil analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut
mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan, maka dapat disimpulkan
bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan motivasi kerja dan
kepemimpinan manajer.
Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur
pengaruh suatu variabel pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik
yang dipergunakan untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel
yang lain atau beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh
suatu variabel pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis
statistik multiple regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur
hubungan suatu variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis
statistik correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment
(korelasi product-moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
- c. Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes
atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan
skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat
ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki
reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh
karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena
apabila alat ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka
akan berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel
dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki validitas
(kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas
diantaranya adalah Analisis Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20).
Sedangkan uji statistik untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan
mengorelasikan skor setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item
dikurangi skor item yang dikorelasikan).
- d. Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif
pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan dengan budaya atau
nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh
nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan atau tidak
diperhatikan. Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri adalah
kelebihan dan kelemahan pada diri individu. Dalam budaya Barat seorang individu
untuk menyatakan kelebihan dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah.
Seorang individu untuk dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif,
individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan kelebihannya di
samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya
Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam
penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena
menurut paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian
kuantitatif, kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku
umum.
- e. Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait dengan
konteks artinya terkait dengan situasi atau lingkungan yang menyertai fenomena
tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena
aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori
Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan
orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang
pedesaan yang tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa
asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di lereng
gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di pedalaman Papua
dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam, memelihara
binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni lokal atau seni daerah
setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang
diteliti.
- f. Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak
Dalam penelitian kuantitatif diperlukan
adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak. Hal ini bertujuan agar dapat
digeneralisasikan atau dapat diberlakukan secara umum. Untuk itu terdapat
terminologi populasi, sampel, dan technique sampling (teknik
menentukan sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu
wilayah atau organisasi atau instansi atau perusahaan yang memiliki
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari
populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif
(harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan
populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara pengambilan sampel), di
antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh individu atau seluruh
anggota populasi dijadikan sampel; stratified random sampling, yaitu
apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan
dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila
individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan
penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel
adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang
representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap
sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir
artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada
sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
- g. Menggunakan analisis statistik
Dalam penelitian kuantitatif
digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara akurat
suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam penelitian kualitatif tidak
menggunakan analisis statistik karena tujuannya tidak akan mendeskripsikan
suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Terdapat beberapa macam teknik analisis statistik, misalnya sebagaimana telah
diuraikan di depan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang
satu dengan variabel yang lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment
dari Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis
statistik multiple regression. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
antara variabel yang satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test.
Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak
digunakan dalam penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas,
reliabilitas, hipotesis, signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk
menggambarkan apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu variabel
dengan variabel yang lain mempunyai makna, untuk itu kemungkinan salah
perhitungannya dibatasi maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p <
0.05. Suatu hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama
atau lebih kecil dari 5%) dinyatakan signifikan atau bermakna.
- h. Peneliti tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif
peneliti tidak memihak, artinya peneliti menghindari subjektivitas dari subjek
yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui
persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif
merupakan hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap
suatu fenomena. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin
mengeleminir subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam
penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.
Penjelasan
dan contoh Model Kualitatif
- a. Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif
berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata lain mendeskripsikan
suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif ingin mendapatkan
pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau
makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif berusaha
mendeskripsikan fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan penelitian
kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu perlu
mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam (verstehen), tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa
dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena.
Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau
bagaimana proses terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan
tentang apa, mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia
mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif
(pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang
bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan
kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya mengetahui tentang
apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana suatu fenomena
terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai
berikut: “Dalam pendekatan kualitatif, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian bukan hanya mencakup: apa, siapa,
dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang terpenting yang harus tercakup dalam
pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa
menuntut jawaban mengenai hakikat yang ada dalam hubungan diantara
gejala-gejala atau konsep-konsep, sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa,
siapa, dimana, dan kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan
pertanyaan bagaimana menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan
penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian
kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik
peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta
bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan
hukum umum tidak menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau
meramalkan juga tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi
hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan
mengonstruksi realitas sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan
paradigma Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya
merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil
konstruksi rasio subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas
sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan
bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh
rasio.
- b. Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian kuantitatif berfokus pada
variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian dilakukan telah ditentukan
terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti. Sedangkan dalam
penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel. Bahkan
fokus penelitian dapat berubah pada waktu di lapangan setelah melihat kenyataan
yang ada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan
data yang dipergunakan adalah observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya
diarahkan pada setting saja, tetapi justru yang pokok adalah proses
terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian
pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi
observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila
observasi dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus pada
hal-hal yang akan diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi
pada waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat
ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus
dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara khusus.
Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau
kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi terutama
observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan tentang apa,
tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana,
dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara mendalam (verstehen).
- c. Keaslian merupakan kunci
Dalam penelitian kuantitatif,
reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik mempunyai fungsi yang
sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan kunci,
sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai penelitian alamiah (naturalist
inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi
situasi maupun setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif justru sering
melakukan manipulasi situasi maupun setting penelitian. Misalnya dalam
metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga
homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu,
dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel kontrol, adanya treatment
(perlakuan khusus) misalnya diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan
khusus, dan lain-lain. Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan studi
terhadap fenomena dalam situasi dan setting sebagaimana adanya. Guba
seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan
studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada penemuan (discovery-oriented).
Penelitian demikian secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada
dalam keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
- d. Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)
Dalam penelitian kuantitatif,
peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak memperhitungkan nilai
(bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat diperhatikan
atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang teguh prinsip menghindari
pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan
penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan menggunakan
bahasa yang impersonal (misalnya tidak menggunakan kata: kita, kami,
saya, kita semua), membuat laporan penelitian, mengajukan argumentasi
berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang penelitian
kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat menggunakan kata:
kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam
penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat value-laden
(sarat nilai-nilai subjektif si peneliti) dalam penelitian, dan si peneliti pun
secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya, serta nilai-nilai dari
informasi yang dikumpulkan di lapangan.
- e. Terikat pada situasi (terikat pada konteks)
Telah dijelaskan bahwa suatu
fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya, atau dengan kata lain
selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa dalam
penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku umum
(universal), maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh yang
diteliti. Peneliti selalu berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang
sistematis dan berusaha objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya
penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas dari yang diteliti
karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui
persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti
selalu terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang
mengalami kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat
memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang
bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat
ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap
ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu
atau dengan kata lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama
dengan subjek yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat
intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif
sama dengan objektif.
- f. Terdiri dari beberapa kasus atau subjek
Dalam penelitian kualitatif karena
tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka penelitian
kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek. Dalam studi kasus
subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga banyak, bahkan mungkin
penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting adalah sifatnya
yang sangat spesifik. Contoh penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi
pada Negara-negara Sosialis.” Negara-negara yang menganut paham Sosialis
menentang paham Demokrasi. Jadi penelitian perkembangan demokrasi di
negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai contoh tidak seperti dalam
penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga
puluh) individu agar dapat dianalisis dengan statistik parametrik, maka dalam
penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek yang diteliti.
- g. Bersifat analisis tematik
Dalam penelitian kualitatif karena
tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka yang diteliti
adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan analisisnya bersifat
tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap perempuan, masalah-masalah jender:
perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan,
kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang
tidak normal (learning-disabilities), dan lain-lain.
- h. Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian
kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti agar dapat
menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti, maka
sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil jarak, agar peneliti
benar-benar memahami persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena.
Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi terlibat (participant
observation). Dengan observasi terlibat pemahaman terhadap subjek dapat
mendalam.
0 komentar:
Posting Komentar